image05 image06 image07

Sabtu, 21 Juni 2014

Tagged under: , ,

Launching Cookies Magazine



     Finally, BIAS meluncurkan majalah online pertamanya pada tanggal 21 Juni 2014 dengan tema “Something Had Missed”. Peluncuran majalah online ini disambut hangat oleh siswa-siswi serta segenap keluarga SMAN 1 Jember. Acara ini dihadiri Ibu Anita selaku Pembina BIAS dan diramaikan oleh perwakilan dari tiap ekskul dan masing-masing kelas. Tak hanya itu, pemenang lomba cerpen yang diadakan oleh BIAS dan para model majalah Cookies juga turut hadir dalam acara ini. Berikut beberapa dokumentasi dari acara launching majalah Cookies : 

Bu Anita saat menyampaikan pidato mengenai majalah cookies


Penyerahan majalah secara simbolis 


hasil Foto Model yang berpartisipasi dalam majalah cookies

seluruh anggota BIAS yang berpartisipasi dalam pembuatan majalah


     Majalah dengan nama Cookies ini sudah dipersiapkan semenjak awal smester dua tahun 2013/2014. Dengan bantuan serta dukungan dari berbagai pihak akhirnya Majalah Cookies siap untuk diluncurkan. Mungkin belum banyak yang tahu sekitar empat tahunan yang lalu majalah BIAS hadir dalam bentuk buku cetak. Untuk mengikuti perubahan zaman yang mulai beralih dari buku ke digital, maka BIAS pun meluncurkan majalah dalam bentuk online. Apa kelebihan majalah Cookies ini? Banyak banget, Cookies mudah diakses dimana saja, kapan saja dan gratis, tidak perlu biaya apapun. Isinya menarik, mudah dibaca, dan membahas seputar kegiatan sekolah kita, SMAN 1 Jember. Yang tidak kalah penting lagi, majalah ini juga membahas seputar hal-hal unik dan ide-ide kreatif menarik lainnya . Majalah ini juga telah mendapat respon bagus dari berbagai pihak. So, tunggu apalagi, segera kunjungi website kami di www.emagz.sman1jember.sch.id

Jumat, 20 Juni 2014

Tagged under: ,

Tokyo Necklace

By Rike Andriyani XI IPA 2
 
Aku mencari benda itu selama beberapa jam. Sudah lama aku tak memakai benda itu sejak terakhir kali aku bertemu dengannya. Bagaimana perasaannya jika ia mengetahui bahwa benda itu telah hilang? Akankah ia marah padaku? Akankah ia memutuskan hubungannya denganku? Aku tak ingin hal tersebut terjadi. Kita telah memiliki hubungan selama kurang lebih 4 tahun, dan harus berakhir selama beberapa menit karena kelalaianku menyimpan benda sepenting itu?
***
Aku kembali berceloteh tentang sesuatu yang tak berguna. Entah mengapa gadis di depanku ini tertawa terpingkal-pingkal karena celotehku yang bahkan tak lucu itu. Aku terdiam sejenak.
“Apakah yang aku bicarakan itu lucu?” Aku bertanya padanya dengan polosnya. Ia menggembungkan pipinya, lalu kembali tertawa terpingkal-pingkal. Kali ini tawanya lebih keras. Apakah aku lucu? Haha, tidak mungkin.
“Kau lucu sekali, Kara. Bagaimana kau tak sadar akan potensimu sebagai pelawak?” Apakah aku selucu itu?
“Aku memiliki tampang yang jauh lebih menarik untuk menjadi seorang pelawak,”Aku mengerucutkan bibirku saat ia mengatakan bahwa aku cocok menjadi pelawak. Bukankah itu semacam badut?
“Nah, itu dia. Tampangmu yang lucu itu yang membuatmu sangat cocok menjadi seorang pelawak. Bukankah itu trend baru? Seorang pelawak cantik, pasti akan ada banyak laki-laki yang mengagumimu,”
“Oh,ya. Kemarin aku baru datang dari Tokyo. Aku membawakan oleh-oleh untukmu,” Ia meraih tanganku dan meletakkan sebuah kalung cantik bertuliskan huruf N&K di tengah kalung itu di telapak tanganku. Aku mengambil kalung itu dan memakaikannya di leherku.
“Ah, cocok sekali,” Lalu Nara memperlihatkan kalung yang sama yang ia pakai di lehernya. Aku sangat menyukai kalung putih tersebut.
“Kalung ini merupakan simbol persahabatan kita. Aku mohon jangan sampai kau menghilangkan kalung ini,” Aku mengangguk menyetujui permintaannya. Aku janji aku tak akan menghilangkan kalung berharga ini.
***
Aku sangat khawatir tentang bagaimana hubungan kami selanjutnya. Kau tahu, aku harus memakai kalung itu tepat pada hari ulang tahunnya besok sore. Bagaimana jika dia menanyakan tentang keberadaan kalung itu? Aku menyerah! Aku tak bisa menemukan kalung itu. Aku akan menghadapi apapun resikonya. Aku akan menerima semua yang akan ia katakan padaku. Walau aku tak bisa jika ia menjauhiku. Aku sudah cukup kesepian sejak kami tinggal di daerah yang berbeda.
***
Kini aku telah sampai di depan rumahnya. Syukurlah hari ulang tahunnya bertepatan dengan hari libur, jadi aku tak usah mengirimkan surat ijin ke sekolah. Aku memencet tombol di gerbang depan rumahnya. Dan sedetik kemudian, bel rumahnya pun berbunyi.
Seorang gadis berambut sebahu membuka pintu rumahnya yang tinggi. Lalu ia menghampiriku yang berada di depan gerbang rumahnya.Sebuah senyuman manis, ia tujukan padaku. Aku merasa sangat bersalah padanya. Aku berusaha membalas senyumannya itu dengan setengah hati. Akupun memasuki halaman rumahnya yang penuh dengan pepohonan.
“Selamat ulang tahun, Nara. Maaf aku hanya bisa memberikan ini padamu,” Aku segera memberikan bingkisan berukuran sedang padanya.
“Oh ayolah. Kedatanganmu hari ini saja sudah sangat cukup bagiku,” Ia tersenyum lalu  memelukku dengan erat. Lalu ia menyentuh bagian leherku tanpa disengaja.
“Dimanakah kalungmu?” Aku terkejut dengan ucapannya. Jantungku berdegup dengan kencang. Aku takut. Aku takut ia akan menghindariku bahkan lebih parah lagi ia akan memutuskan tali persahabatan di antara kita.
“Itu...” aku menggantungkan kalimatku. Lidahku kaku untuk mengucapkannya. Aku terlalu takut akan kemungkinan-kemungkinan itu.
“Apa kau menghilangkannya?” Kali ini aku bahkan tak bisa bernapas. Oksigen yang kuhirup serasa terhenti di tenggorokanku. Keringat dingin keluar dari setiap pori-pori di seluruh tubuhku. Ototku kaku walau hanya untuk menggerakkan sebelah tanganku saja.
“Maafkan aku, Nara. Aku telah menghilangkan benda sepenting itu. Aku memang tak berguna. Aku telah lalai menyimpannya. Aku akan menerima semua hukuman yang kau berikan padaku,” Ia menghembuskan napasnya dengan berat. Lalu ia kembali memelukku dengan lebih erat.
“Inilah hukuman yang pantas kau dapatkan,” Aku terkejut. Aku sungguh tak menyangka ia tak memarahiku atau bahkan memusuhiku.
“Tapi...”
“Sudahlah, benda itu tak penting. Aku sudah menyadarinya kalau benda itu akan segera hilang selepas aku memberikannya padamu. Karena aku tahu bahwa kau adalah gadis yang pelupa,” Aku tersenyum dalam pelukannya. Aku tak bisa menahan air mata yang sedaritadi aku tahan di pelupuk mata.
“Tapi aku tak bisa..”
“Sahabat bukanlah diukur dari seberapa lama kamu menyimpan benda pemberian itu, tapi diukur seberapa lama kamu menganggapku sebagai bagian dari hidupmu,”
Tagged under: ,

Tak Akan Pernah Lupa

By Hanna Nabila XI IPA 6

"Cedaar..!!"
Tepukan di bahu itu terasa familiar. Cedar memalingkan tubuhnya begitu ia yakin siapa yang menyerukan namanya.
"Kamu ini, jangan lupa bawa PR kimia yang sudah kita kerjakan susah payah, dong."
Sosok dihadapannya mengibas-ibaskan selembar kertas folio dengan kesalnya.
"Dillo? Duh, maaf.. Aku lupa lagi." Ujar Cedar mengacungkan dua jarinya lebar-lebar, mengisyaratkan kata 'suer'.
Yang diajak bicara hanya menyunggingkan senyum kecil berharap gadis di hadapannya ini tak bisa jadi lebih ceroboh lagi. "Selalu lupa. Yaudah, nih bawa sendiri, jangan sampai lupa kamu taruh mana ya." Ujar Dillo seraya menyerahkan folio yang sudah terisi penuh tadi.
Cedar berjalan menyusuri lorong panjang di skolahnya. Dillo mengiringi langkahnya sepanjang ubin menuju ke ruang kelas. Mereka bercakap seru seperti biasa. Sungguh sepasang sahabat yang serasi.
Dillo dan Cedar sudah lama saling kenal. Sampai-sampai Cedar tak ingat kapan pertama kali ia bertemu dengan Dillo. Mungkin, mulai hari itulah Dillo berlagak menjadi alarm yang akan selalu mengingatkan Cedar akan hal-hal yang biasa ia lupakan.
"Dasar pikun!" Dillo memukul kepala Cedar dengan gulungan kertas. Baru saja bel pulang berbunyi dan Cedar sudah kembali pada kebiasaan buruknya, "Aduh.. Ampun.. Lagian, kenapa juga kamu yang mesti sewot tiap kali aku lupa bawa barang?"
Dillo terdiam untuk beberapa saat. Ia menyodorkan flashdisk dengan gantungan boneka beruang yang cukup besar untuk bisa diabaikan seseorang. "Karena kamu memang selalu melupakan segalanya."
Cedar mengambil flashdisk yang menjadi miliknya itu. Setengah hati ia meragukan dirinya yang sudah dengan ceroboh meninggalkan barang berharganya di atas meja begitu saja. “Kamu menyebalkan!” Ujarnya manyun. “Beri aku enam hari dan akan ku buktikan kalau aku tidak se pikun yang kamu kira!”
“Hey, yakin, nih?”
“Yakin! Kalau aku bisa, kamu mau kasih aku apa?”
Dillo mengangkat satu alisnya heran. Baru kali ini ia melihat Cedar begitu terobsesi melakukan sesuatu. “Okey, gini deh, kalau kamu bisa buktiin, aku traktir minum di rumah es krim favoritmu.”
“Setuju!” Cedar hendak merebut tangan Dillo sebelum tangannya ditepis sohibnya itu. “Tapi..” Dillo menekankan suaranya. “Tapi...” Cedar membeo. Keduanya saling bertatapan.
“Tapi, aku akan pergi kalau kau gagal.”
“Tapi, aku tak peduli apa pun kalau aku gagal!”
Keduanya berkata di waktu yang nyaris bersamaan. Cedar mengambil tangan Dillo yang berarti mereka harus sepakat. Ia tak peduli konsekuensi lain karena ia tak mungkin gagal. Baginya sudah cukup ditandai sebagai yang ‘ter-pikun’ di kelasnya.
“Tapi Cedar, aku akan benar-benar pergi. Maksudku, aku tak akan jadi sahabatmu lagi, aku tak akan pergi denganmu lagi.” Dillo berusaha menyatakan maksud yang sebenarnya.
“Aku tak mengerti sekaligus bosan dengan konsekuensi itu. Terakhir, kau juga menjanjikan hal yang sama kalau seandainya nilai ulangan biologi ku tidak bisa lebih baik dari punyamu. Tapi, waktu itu aku menang dan aku yakin yang ini juga pasti ku menangkan! Week..”
Cedar meledek Dillo dengan juluran lidahnya. Ia melenggang pergi mendahului Dillo yang lagi-lagi menyunggingkan senyum kecilnya sambil menggeleng. Seandainya Cedar tahu bahwa saat itu butuh perjuangan berat untuk memenuhi janjinya. Untuk tetap tinggal dan menemani Cedar menonton bioskop seperti yang menjadi kesepakatan mereka.
Hari demi hari berlalu. Tak seperti biasa, Cedar selalu mengantongi sebuah buku kecil berisi catatan hal apa saja yang harus ia lakukan dan benda apa yang harus ia bawa. Sudah 5 hari ia melakukan ini dan sudah berkali-kali pula ia membanggakan keberhasilannya pada Dillo. Hanya tinggal sehari lagi, tapi ia tak melihat Dillo hari ini.
“Tumben Dillo nggak keliatan, apa dia bolos?” Cedar membereskan mejanya bersiap untuk pulang. Catatannya satu per satu ia centang, menandai benda yang sudah masuk ke dalam tasnya. “Apa dia sakit? Bukan Dillo banget. Jangan-jangan dia bolos, takut janjinya aku tagih. Dasar curang!” Cedar memilih untuk mengabaikannya dan pulang dengan santai.
Keesokan hari sepulang sekolah, Cedar tersenyum sumringah. Ia mencentang barang terakhir yang mungkin ia lupakan. Hanya tinggal satu hal yang harus ia lakukan setelah ini, pergi ke rumah es krim bersama Dillo. Itu pun kalau Dillo datang ke sekolah hari ini. Cedar mulai merasa ada yang aneh. Ini bukan Dillo yang biasanya selalu menepati janji.
Akhirnya, Cedar memutuskan untuk datang ke rumah Dillo, siapa tau memang ada sesuatu yang menimpanya. Sesampainya di depan pagar, ia disambut seorang gadis kecil yang rambutnya diikat dua. Gadis kecil itu menghampiri Cedar, “Kakak pacarnya Kak Dillo.”
Cedar tidak mengerti apakah itu sapaan atau sebuah pertanyaan. Gadis kecil itu menyodorkan selembar kertas yang dilipat jadi empat. “Kakak bukan pacar Kak Dillo, kakak teman dekatnya.” Ujar Cedar sembari mengambil kertas itu dengan lembut.
“Kakak tidak ingat.”
Perkataan gadis kecil itu sontak membuat Cedar heran. Bagian mana yang tidak ia ingat? Bukankah sejak dulu ia dan Dillo bersahabat?
Gadis kecil itu mendongak dan berkata, “Namaku Bella, adik Kak Dillo.”
“Bella, Kak Dillo nya ke mana?” Cedar mengelus kepala Bella sayang.
“Mama bilang, kak Dillo pergi. Ke tempat yang jauh. Nanti kita juga akan pergi ke sana.”
Cedar semakin tak mengerti. Ia membuka lipatan kertas yang diterimanya. Di sana tertulis beberapa baris kalimat “Sayang, kamu justru melupakan hal yang aku tak pernah lupa. Terima kasih sudah membuatku bertahan sejauh ini. I Love You.”
Cedar merasa kepalanya pening. Masih ada hal yang ia lupakan. Satu hal yang sangat penting. Suara decitan-decitan aneh mulai berbunyi di telinganya. Bayangan Dillo lantas terlintas di pikirannya.
Dillo sedang mengendarai sepeda motor dan ia duduk di belakang. Saat itu hujan petir dan jalanan terasa licin. Tiba-tiba, datang dari arah tikungan, truk pengangkut kayu yang ugal-ugalan dan berjalan melawan arah. Dillo menghindar, tapi sepedanya oleng. Cedar tersungkur di aspal. Kepalanya terasa pusing, tapi ia dapat merasakan tubuh hangat yang mendekapnya erat. Dillo. Sorot lampu yang menyilaukan itu semakin dekat, membuatnya melupakan segalanya.
“Tulang punggungnya retak, lambungnya sobek, gagar otak. Aku tidak tahu, dokter bilang yang aneh-aneh soal kakak.” Bella memanyunkan bibirnya.
Cedar mengusap lelehan permata di pipinya. Dillo bertahan hanya untuk menantinya ingat akan hubungan mereka. Amnesia. Cedar yakin ia menderita penyakit ini. Mungkin itu alasan mengapa Dillo tak pernah mengatakan yang sesungguhnya. Dillo takut mengganggu kesehatannya. Bodoh, sekarang ia ingat. Cedar ingat pria bodoh yang sangat ia cintai.
“Aku.. memang selalu melupakan segalanya, ya kan Dill? Sama seperti kamu yang selalu bertingkah bodoh seperti biasa.”
Bella memeluk Cedar dengan tangan mungilnya. Gadis kecil ini seolah tahu perasaan yang tengah dirasakan Cedar, “Kak Dillo bilang, ia tak akan melupakannya, jadi kakak juga harus janji untuk tidak melupakannya lagi.”
Cedar mengangguk kencang. Tidak untuk Dillo. Tidak untuk yang kedua kali.
Tagged under: ,

Layar Klise

By Chici Ayu XI Akselerasi

Namaku Khaahani Chatterjee biasanya dipanggil Khaani, sepasang bola mata bening kebiruan membuat beberapa orang terhanyut pancar binar kesejukkan. Aku memiliki kelainan mata permanen turunan biologis dari ayah. Hasil rongsen menunjukkan kornea mata bergeser jauh dari tempat semestinya, kemungkinan terburuk bisa mengakibatkan kebutaan. Berbagai macam cara pengobatan dan alternatif telah ditempuh, tapi tak satupun dapat menyembuhkan. Pemeriksaan pertama usiaku menginjak tujuh tahun, dokter spesialis memvonis mataku minus lima. Sungguh di luar batas gangguan mata normal di usia yang masih sangat belia. Ketika  aku duduk di bangku kelas satu Sekolah Dasar, sebuah kecelakaan kecil saat bermain gobak sodor. Tak sengaja salah satu temanku menjegal kakiku sampai aku terjatuh. Kacamata terpental dan ppyyyarrrr... pecah berkeping – keping. Kucoba untuk bangkit lalu berjalan  dengan meraba – raba, seorang bocah laki – laki menuntunku sampai ke ruang kelas. Seketika teman – teman bersorak dan tak hentinya mengejek aku dan bocah itu layaknya sepasang kekasih. Seminggu kemudian bocah itu pindah sekolah tanpa aku mengetahui namanya.
Seiring berjalannya waktu semakin bertambah ketebalan kacamata semakin kabur pula pengeliatanku. Menjelang tahun ajaran baru, terjadi percecokan hebat antara ayah dan bunda. Ayah tidak setuju dengan sikap bunda yang keras kepala menuntutku melanjutkan ke sekolah luar biasa, tetapi ayah bersikeras memintaku melanjutkan ke sekolah umum selayaknya anak normal biasanya. Tahun pertamaku di Sekolah Menengah Pertama sangat buruk. Untuk kali ini bunda menyuruhku home schooling meskipun dengan biaya jauh lebih mahal. Aku merasa terisolasi dan tertekan di rumah sendiri. Kadang kala rindu pada kebebasan dunia luar juga teman – teman datang melanda. Di sisi lain lewat home schooling aku dikenalkan dengan huruf braille. Dengan huruf braille aku lebih mudah membaca, kesulitan membaca buku berhuruf balok menyebabkan prestasiku selalu buruk. Dalam waktu beberapa bulan perkembanganku dalam bidang akademik meningkat secara significant. Guru privat menyarankan kepada bunda agar aku kembali menempuh pendidikan di sekolah umum, dengan berbagai pertimbangan akhirnya bunda menyetujuinya. Tahun terakhir di SMP, aku bisa membuktikan bahwa dengan segala keterbatasanku tak selayaknya aku dipandang sebelah mata.
Awal masa orientasi SMA aku masih kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Banyak teman – teman sulit menerima kekuranganku. Sering kali hujaman anak buta merenyuhkan batinku. Meskipun tidak semua orang membenciku, namun ada saja gengster yang gemar berbuat usil kepadaku.
“Mingggiiir...... minggiirr anak buta mau lewat,” ledek ketua gengster di koridor.
Aku hanya menunduk kerepotan membawa buku sambil gerayahan menuruni tangga. Tak sengaja aku menabrak pundaknya, seketika buku yang ku bawa jatuh berserakan. Gengster menjambak rambutku dan membawaku pada titik three point lapangan basket. Salah satu gengster merampas kacamataku.
“Aku tantang kamu! Masukkan bola basket satu kali saja dalam tiga kali kesempatan. Kalau kau gagal, kupastikan kau tak akan pernah bisa pulang,” ancam bengis ketua gengster.
Tak pernah terbayang aku bisa menerima tantangan itu, jangankan untuk memasukkan bola basket ke ring, untuk berjalan saja aku masih kerepotan. Banyak siswa bersorak – sorak pinggiran lapangan basket. Mataku tak mampu untuk menatap letak ring, jelas kesempatan pertama dan kedua aku gagal memasukkan bola. Untuk kesempatan ketiga kalinya seorang lelaki tiba – tiba berteriak memecah hiruk pikuk.
“Jika kau tak dapat melihat, gunakan mata batinmu” teriaknya lantang
Kupejamkan bola mata, kucoba melihat dengan mata batinku. Untuk lemparan terakhir ini aku berhasil memasukkan bola ke ring. Aku berjalan gerayahan untuk meminta kacamataku kembali, sesuai dengan kesepaktan gengster mengembalikan kacamataku. Ketika aku beranjak meninggalkan mereka terdengar celotehan,
“Hei buta urusan kita belum selesai,” teriaknya sambil melempar bola basket ke wajahku.
Ppyyyaarr.... untuk yang kedua kalinya kacamataku pecah berkeping – keping. Gengster dan teman – teman meninggalkanku sendiri di tengah lapangan. Seorang lelaki datang membantuku. Ia menuntunku lalu menunjuk sebuah bangku dibawah rimbun pohon cemara.
“Bukankah ini buku braille, untuk apa buku ini ?” tanyanya sambil meraba bukuku
“Hhhmm... mataku cacat, pengelihatanku makin hari makin kabur, guru privatku pertama kali mengenalkan huruf braile saat aku duduk di bangku SMP, seringkali aku pusing membaca huruf balok, buku braile ini sebagai pembantu,” jelasku perlahan.
“Betapa sejuknya matamu, bolehkah aku tau namamu?” tanyanya hanyut dalam tatapan.
“Khaahani, siapakah kamu? Kenapa kau tak malu menolongku?” tanyaku balik
“Rana Pudja, aku teringat pada gadis kecil delapan tahun lalu,” jawabnya singkat.
“Apa yang membuatmu teringat dengan gadis masa kecilmu?” tanyaku menegas.
“Sepasang bola mata kesejukkan, matamu mengingatkanku padanya,” tuturnya penuh keyakinan
    Beberapa deskripsi Rana tentang gadis itu mengingatkanku pada seorang bocah SD yang seketika hilang bagaikan ditelan laut biru.
    “Kaukah bocah itu Rana?” tanyanku menyibakkan tanda tanya.
    “Seorang gadis terjatuh pada permainan gobak sodor, menurutmu?” lanjut gumamnya.
    “Kenapa kau hilang bagai angin laut tanpa aku sempat berterimakasih padamu?” ungkapku kesal.
“Sejauh angin berkelana akan kembali kelaut jua,” senyumnya dengan kedua lesung di bibir. Sejenak keheningan lalu di pecahnya dengan celetuk ringan  “Gelap terang dunia ini layaknya sebuah klise potret kamera lomo.” ungkapnya dengan tatapan hilang arah.
“Puji syukur... kaburnya pengeliatanku setidaknya aku masih menikmati kerucut warna cahaya, “ jawabku menghibur ”Adakah gerangan kau yang terlihat normal berkata hal serupa?” tanyaku balik umpan.
    “Seterang mataku memandang terasa hampa jika tak tampakkan warna, aku buta warna total Khaani...” ucapnya mengagetkan. 
Perlahan aku menelaah setiap kata ucapannya,“Mungkin memang kita ditakdirkan cacat netra, namun mata hati tak akan pernah buta,” jelasku sederhana.
    Semenjak pertemuan itu, Rana melindungiku dari ancaman gangster. Hadirnya singkap kegelapan terangkan jalan setapak. Dengan keterbatasanku aku membantunya menerawang warna awan. Bersamanya gambarkan anggun bias pelangi diguyur rintik hujan, tak lupa abadikan setiap kenangan meski kenyataannya hanya tampak gelap terang. Erat gandeng kebersamaan coba menepis buram hampa kehidupan.
Tagged under: ,

DIA BUKAN TAKDIRKU

By Silviana Dini X MIA 6

GUBRAAKK..!!
    “Aauuww…sakit !! Mas ini jahat banget sih jadi cowok !” seorang gadis kecil meraung kesakitan dan berlari dengan kaki yang terluka. Air mata yang menggenangi matanya ikut serta mengiringi kepergiannya meninggalkan dua lelaki yang sedang duduk bersantai didepan rumahnya. Namun, lain halnya dengan seorang lelaki  yang merupakan penyebab jatuhnya sang gadis kecil itu. Tawa yang keluar dan terdengar sang gadis itu sangat terasa menyakitkan hati yang masih lugu itu.
    Sesampainya di rumah, gadis kecil bernama Anti ini masih saja mengomel dan mengumpat-umpat untuk lelaki yang bernama Ebi tadi. Dia merasa kebencian Ebi kepada dirinya telah memuncak dengan kejadian yang dialaminya tadi. Namun entah apa yang menyebabkan Ebi sebegitu benci kepada dirinya.
    Hari demi hari, bulan demi bulan, hingga tahun pun juga telah berganti. Keadaan yang diselimuti embun kebencian tak kunjung mereda. Kebencian Ebi pada Anti dan begitu sebaliknya justru semakin terasa seiring perkembangan mereka menuju usia remaja.

7 tahun kemudian….
    “Gak terasa ya, anakmu sebentar lagi mau masuk SMA !”
    “Ya, padahal baru saja dia masuk SMP,”
    “He’em, ngomong-ngomong anakmu mau masuk SMA mana ?”
    “Tak suruh nyoba di SMA 1, sekolah anakmu. Tapi aku takut kalau gak diterima soalnya nilai UN-nya kecil,”
    “ Memang nilainya berapa ?”
    “35,40”
    Begitulah perbincangan singkat antara ibu Anti dengan lelaki yang merupakan ayah Ebi. Mereka memang tidak begitu akrab tetapi tidak juga bermusuhan. Namun sayang, hingga usia Anti yang menginjak 16 tahun dan Ebi yang akan menginjak 17 tahun, seperti tak ada sedikit niatan untuk memperbaiki hubungan yang tak pantas untuk dibina sebagai sepasang tetangga.
    Hari pengumuman siswa baru telah tiba . Semua siswa mulai dari SD, SMP hingga SMA berbondong-bondong membeli koran untuk melihat pengumuman. Dan hal itu juga terjadi pada Anti. Dia telah bangun sejak jam 4 pagi. Dia lekas-lekas pergi ke pasar dekat rumahnya dan segera pulang setelah mendapat koran yang ia cari. Setelah sampai di rumah, Anti tak membuang-buang waktu lagi, ia segera mencari namanya di koran tersebut. Begitu mengetahui bahwa ia diterima di SMA yang ia inginkan yaitu SMA 1 Jember, teriakannya membahana mewarnai suasana pagi yang penuh dengan kabut. Tak hanya dirinya yang berbahagia atas keberhasilannya, namun juga kedua orang tuanya.
    “Gimana, An ?” seorang lelaki menyapa dengan begitu ramah kepada Anti. Anti menoleh dengan pandangan dan mimik bahagia.
    “Alhamdulillah saya diterima di SMA 1 Jember, Om !” jawab Anti dengan penuh hormat .
    “Selamat, ya…Kalo berangkat sekolah sama Mas Ebi aja,”
    JEDEEERRR!!!!
    Anti merasa seakan ada yang menancap tepat di jantungnya, bahkan ia susah bernapas. Orang tua Ebi memang tidak mengetahui perihal hubungan antara Ebi dan Anti yang sangat tidak baik. Untuk menjawab pernyataan yang begitu mengejutkan yang tiba-tiba keluar, Anti hanya mampu tersenyum dan kemudian masuk ke rumahnya.
***
    Beberapa hari kemudian setelah MOS yang begitu melelahkan apalagi saat itu adalah bulan puasa, Anti berangkat sekolah dengan langkah gontai menuju seberang rumahnya untuk menunggu angkutan kota. Lima belas menit ia menunggu, tak satu pun angkutan kota yang lewat di depan rumahnya. Perasaan putus asa karena takut terlambat telah menghantui dirinya. Tetapi tiba-tiba….
    Tiiinnn….tiiiinnnn….
    Anti mencari sumber klakson tersebut. Begitu tahu siapa yang membunyikan klakson tersebut, hatinya tiba-tiba bergetar. Bingung terhadap perubahan hatinya saat memandang Ebi, Anti pun hanyut dalam lamunannya.
    “Dik, berangkat sama aku yuk !” Ebi mengajak Anti dengan penuh kelembutaan hingga Anti tambah bingung dengan apa yang sedang terjadi di dunia ini. “Dik, ayo ! Telat lho nanti !” Lagi-lagi Ebi berbicara dengan penuh kelembutan. Tak ingin berlama-lama dalam lamunannya, tanpa banyak bicara ia langsung naik ke sepeda motor Ebi. Di sepanjang perjalanan Ebi kembali seperti semula. Diam tanpa kata.
    “Makasih, Mas !” ucap Anti setelah sampai di depan gerbang sekolah.
    Ebi berlalu begitu saja, tak menanggapi apa yang dikatakan Anti. Dan setelah Ebi berlalu, Anti berucap, “Dasar orang aneh !”

1 semester kemudian…
    Waktu berlalu begitu cepat. Semester yang melelahkan telah dilewati. Ada suatu kejadian yang tak akan pernah bisa dilupakan oleh Anti. Saat ujian semester, Anti duduk tepat dibelakang Ebi. Ia berharap Ebi akan menyapanya seperti beberapa bulan lalu karena sejak saat itu Ebi tak pernah lagi mengajaknya berangkat bersama ataupun hanya sekadar menyapa. Namun apa yang diimpikan Anti hanyalah sekadar impian belaka. Dan entah kenapa sejak saat itu ada rasa untuk memiliki. Saat rasa itu ada, Anti bingung karena selama ini ia tak pernah berdialog walaupun hanya sepatah kata. Ia bingung setengah mati untuk menghilangkan rasa itu, tetapi semakin ia mencoba melupakan, disitulah rasa itu semakin dalam terasa.
***
    “Mas Ebi !”
    “Hei, belum pulang ?”
    “Iya, dari tadi gak ada angkot nih,”
    “Emmm, ya udah bareng aku aja,”
    “Oh, iya dah. Boleh ?”
    “Ya boleh, lah,”
    Singkatnya percakapan antara dua insan tersebut akhirnya berlanjut dengan keheningan diatas sepeda motor Ebi. Namun, tak betah dengan keadaan yang hening, Anti mencoba memulai pembicaraan. “Mas, aku boleh ngomong sesuatu sama kamu gak ?”
    “Boleh, tapi jangan disini. Gimana kalo di rumah makan dekat sini ?”
    “Ehm…boleh deh,”
    Menit-menit berikutnya mereka lewati dengan candaan hangat yang mengiringi mereka menuju rumah makan dekat sekolah. Namun, tiba-tiba…
    Ciiiiiitttt…..Brak!!! Daarrr!!!
    “Woy, tabrak lari. Jangan lari lo, woy !!!” seorang pedagang yang kebetulan lewat mencoba mencegah pengendara sepeda motor yang kabur setelah menabrak sepeda motor Ebi.
    “An…ti…ka…mu…harus ber..ta…han..”
    Ditengah kegelisahan Ebi akan keadaan Anti, Anti mencoba tersenyum untuk meyakinkan Ebi bahwa dirinya baik-baik saja. Namun, dengan luka serius yang dialaminya, sedikitpun kegelisahan Ebi tak dapat terobati dengan senyum yang diciptakan Anti.
    “Ehm…mas, aku gak bisa lama-lama, aku harus pulang. Aku cuma mau bilang kalo aku sayang sama kamu. Maaf aku gak bisa jadi tetangga yang baik buat kamu, aku sayang kamu,”
    Detik berikutnya, Anti telah berpulang ke tempat yang abadi sepanjang masa. Sedangkan Ebi tak sadarkan diri.
***
    “Ebi, kamu ngapain disini ?”
    “Nungguin Anti, Tante !”
    Seminggu sudah Anti berpulang. Rasa tak percaya akan kepergian Anti masih saja membayang-bayangi Ebi. Setiap hari tanpa jeda sehari pun, Ebi selalu bertengger didepan rumah Anti. Ia masih sangat mengharapkan kehadiran Anti walaupun ia tahu itu hal yang sangat mustahil. Ibu Anti hanya bisa menyapa tiap kali Ebi berada didepan rumahnya. Orang tuanya pun bingung bagaimana cara untuk membangkitkan semangat anaknya itu karena sejak saat itu semangat Ebi hilang. Ia benar-benar tidak menyangka jika satu hari yang berkesan dengan Anti harus menjadi hari tersakral didalam hidupnya.
    Tepat di sebulan meninggalnya Anti, Ebi berkunjung ke pusara Anti. Ia merasakan rindu yang teramat sangat hingga ia rela meninggalkan sekolah sebelum bel berdenting. Ia menyusuri rerimbunan pohon yang menyelimuti pusara Anti. “Sekarang aku baru sadar kalo kamu begitu berharga. Aku baru sadar kalo aku juga sangat sayang sama kamu. Kenapa aku harus nyuekin kamu disaat kamu ada buat aku ? Maafin aku, An !” tangan Ebi tertelungkup didepan wajahnya menutupi wajah yang berlinangan air mata.
    Rasa kehilangan yang teramat sangat begitu dalam dirasakan oleh Ebi. Dari semua kenyataan yang ada, mau tidak mau, Ebi harus rela dengan takdir Tuhan yang satu ini. Suatu hal yang mustahil bila Ebi mengahrapkan kehadiran sosok Anti kembali di kehidupannya. Dan inilah hidup. Disaat seseorang ada untuk kita, kita tak pernah menyadari betapa berharganya dia. Namun, ketika orang itu telah menghilang dari kita, saat itulah kita baru tersadar betapa berharganya dia.     
Tagged under: ,

Behind The Silence

By Sofi Atin XI IPA 2

“Perkenalkan, anak di samping ibu namanya Ginaldo Derinsyah.” Aku mengangguk pelan ketika namaku disebut oleh Ibu Reka yang sekarang berada di sampingku. Ya, hari ini adalah hari pertamaku untuk kembali melanjutkan sekolahku di SMA ini, setelah mengikuti pertukaran pelajar ke Australia. Belajar bersama dengan orang-orang yang biasanya menjadi adik kelasku. Aku melangkahkan kakiku ke satu-satunya bangku kosong yang ada dipaling pojok. Kuanggukkan kepalaku kepada  seorang gadis yang akan menjadi teman sebangkuku. Tapi ia tak merespon sedikitpun anggukanku. Ia malah mengalihkan pandangannya ke mp4 yang ada di genggamannya tanpa menghiraukan keberadaanku. Saat pelajaran berlangsung, aku mencoba berkonsentrasi pada penjelasan Bu Reka dan mencatat beberapa hal yang kuanggap penting. Aku tak sengaja melirikkan mataku ke sisi kiriku. Kulihat gadis tadi tertidur dengan headset biru di telinganya. Ekspresi wajahnya jauh berbeda dengan ekspresi yang kulihat tadi. Sekarang tampak lebih hangat dan manis. Mungkin siapapun yang melihat raut wajahnya saat ini tidak akan menyangka bahwa ia sosok yang sangat dingin. Aku mengalihkan pandanganku ke depan kelas, mencoba kembali fokus dengan mata pelajaran yang diterangkan.
    “Apakah kau sudah betah dikelas? Bagaimana rasanya duduk dengan Derin? Apakah sikapnya berubah menjadi manis kepadamu? ” Tanya Yuko yang merupakan satu-satunya anak laki-laki yang kukenal di kelas. Setelah itu ia melahap bakso yang barusan ia beli.
    Aku sedikit kaget mendengar nama gadis itu.“Jadi namanya Derin? Manis? Aku bahkan tidak berbicara dengannya hingga sekarang. Dia seolah menganggapku tak ada.”
    “Derin saat ini jauh berbeda dengan Derin setahun lalu. Dulu dia tipe yang ceria dan energik. Tapi entah mengapa dia berubah menjadi sosok yang sangat dingin, cuek, penyendiri, dan sering mengacuhkan orang-orang yang sedang berbicara kepada dirinya. Dan satu lagi, jangan kaget kalau ia selalu menghabiskan jam pelajaran dengan tidur atau membaca komik” Aku tidak terlalu kaget kalau ia sosok gadis yang dingin. Tapi untuk soal Derin yang dulu ceria dan energik, aku sangat terkejut.
    Aku menghabiskan hari-hariku di sekolah dengan hal-hal yang sama. Belajar, jajan dikantin, pulang, ekskul, les, dan tanpa sapaan dari Derin. Sejujurnya aku ingin menyapanya, berkenalan, dan mendengar suaranya. Tapi aku tak punya banyak nyali untuk melakukan itu semua. Hingga ada seseorang yang datang kepadaku dan membeberkan semuanya.
    “Apakah kakak ingat seseorang yang selalu membawa tulisan bertuliskan ‘GINALDO ILOVEYOU!’ ketika kakak sedang bertanding basket? Atau sosok yang selalu menaruh permen lollipop didalam loker kakak dengan kertas kecil yang berisi harapannya? Apakah kakak tahu seberapa senangnya dia ketika tahu bahwa namanya ada diantara nama kakak? Kakak  terlalu sibuk memikirkan diri kakak sendiri. Kakak nggak pernah menghargai perasaan seseorang yang sudah tulus menyayangi kakak. Dan kakak juga nggak akan tahu kalo kakak udah membuat sosok itu menghilang. Semua itu karena kakak! Dia depresi karena dia tahu kalau kakak akan pergi jauh darinya. Hingga suatu peristiwa naas terjadi kepada dirinya. Apakah kakak tahu alasan mengapa Derin bertingkah dingin,cuek dan sering mengacuhkan orang yang sedang berbicara kepadanya? Atau alasan mengapa ia tak pernah mendengarkan penjelasan dari guru dan lebih memilih tidur? Ya, sosok yang aku ceritakan itu Derin. Gara-gara kecelakaan setahun lalu setelah kakak pergi ke Australia, ia amnesia dan telinga kirinya tidak berfungsi. Ia berusaha untuk menutupi penyakitnya kepada teman lainnya. Hingga, ia menjelma menjadi sosok yang menyedihkan. Apakah kakak tahu seberapa jahatkah orang seperti kakak sekarang?Aku harap kakak tahu dan mengerti”
    Seluruh tubuhku terasa lemas mendengar itu semua. Bagaimana bisa aku yang menjadi penyebab dibalik semua itu? Bukankah sangat tak adil untukku yang sama sekali tidak tahu-menahu soal Derin yang menyukaiku. Apakah ini memang salahku karena tidak mengetahuinya? Entahlah. Aku bingung apa yang harus aku lakukan sekarang. Tapi yang pasti aku harus bertanggungjawab atas semua ini. Sedikit demi sedikit aku memberanikan diri untuk menunjukkan rasa care ku padanya. Awalnya aku melakukan semuanya atas rasa kasihan dan hormatku kepadanya yang sudah pernah mencintaiku. Tapi rasanya terlalu hina jika rasa kasihan menjadi alasan mengapa aku ingin selalu menjaganya dan ingin membuatnya bahagia. Sekarang aku benar-benar ingin menjadi alasan disetiap ia tersenyum dan tertawa.
    “Apa maksud dari kata-kata yang kau tulis dibuku catatan yang kau pinjamkan kepadaku kemarin?” Aku sungguh tak menduga bahwa suara itu berasal dari mulut Derin. Dengan matanya dingin, ia menatapku sambil menyodorkan buku catatanku.
    “Aku lebih tahu siapa dirimu sebenarnya dibandingkan kamu sendiri.Aku tahu bahwa sikapmu saat ini bukanlah sikapmu yang asli. Kau hanya terpuruk dengan kekurangan yang kamu punya dan tidak pernah berusaha untuk bangkit. Kau selalu menyalahkan dirimu sendiri. Pernahkah kau bersyukur karena dengan kamu tidak bisa mendengar dengan jelas, kamu tidak perlu menjadi sakit hati karena kata-kata kasar yang ditujukan kepadamu. Banyak hal yang masih dapat kamu syukuri di dunia ini.” Aku berkata sekeras mungkin agar dia dapat mendengar dengan jelas. Memang aku sedikit terbawa emosi. Lalu aku menulis sesuatu dibuku catatanku dan menyodorkannya kepada Derin. Apakah kau tahu seberapa menyedihkan dirimu jika dibandingkan dengan Derin yang dulu?
    “Aku tidak pernah bilang bahwa aku butuh penilaianmu tentang diriku yang sekarang dengan yang dulu.” Kata Derin yang bersikukuh dengan sikap keras kepalanya.
    “Bahkan dalam kondisi seperti inipun, kau masih bersikap keras kepala dan bepura-pura tidak menganggap orang-orang yang tulus menyayangimu. Derin, masih banyak diluar sana yang memiliki kekurangan lebih dari kamu. Derita yang mereka rasakan, mungkin juga lebih berat dari kamu. Tapi, buktinya mereka mampu move on dari semua itu dan menghabiskan hari-harinya dengan senyuman dan tawa bahagia. Dan kini saatnya kamu menjadi salah satu bagian dari mereka.” Kutarik kembali buku catatan yang ada didepan Derin dan kembali menuliskan beberapa kata. Ijinkan aku membuatmu bahagia!
    “Bisakah aku percaya semua perkataan dari orang yang baru kukenal? Dapatkah kupegang janji dari seseorang yang baru kuajak bicara? Bukankah aku akan terlihat bodoh jika percaya begitu saja dengan perkataan dan janjimu?”Aku mengeluarkan sebuah toples dari tasku yang berisi kertas-kertas kecil dan kuberikan kepada Derin untuk dibaca.
    “Mengapa tulisan di semua kertas ini mirip dengan tulisanku?”
    “Kau bahkan masih ragu dengan tulisanmu sendiri. Bukankah itu menunjukkan bahwa engkau tidak terlalu mengenal dirimu sendiri saat ini? Aku sudah pernah berkata, bahwa aku lebih mengenalmu dari pada dirimu sendiri. Apakah aku masih terlihat seperti seorang pembohong sekarang?”Ia hanya menatapku dan tak mengeluarkan sepatah katapun.    “Semua harapan yang kau tujukan kepadaku masih kusimpan sampai sekarang. Begitupun dengan cinta tulusmu kepadaku. Dan aku ingin mewujudkan semua harapan indah itu bersama denganmu.” Kuraih tangan kanan Derin. Kugambar sebuah hati menggunakan telunjuk kananku, lalu menggenggamnya erat-erat. Dan saat itulah aku melihat senyum manis Derin yang sempat hilang, kembali lagi. -THE END-

Selasa, 10 Juni 2014

Tagged under:

Tips Menghilangkan Penat Pascaujian

Ujian adalah sesuatu hal yang bener-bener menguras tenaga. Nggak cuma menguras tenaga buat yang belajar, tapi juga buat yang nyontek. Selama ujian itu juga pasti beban hidup jadi bertambah, itu dia yang bikin kita penat atau stres atau galau. ini tips-tips buat kalian yang penat.

  • playing instrument or just listening to music. hal itu cukup bisa membuat pikiran tenang karena musik dapat merubah suasana hati dan membuat kita lebih rileks.
  • laughing. soalnya dengan tertawa dapat melepaskan endorfin yang dapat meningkatkan mood kita.
  • chit-chat. bersosialisasi atau curhat-curhat sama temen itu mampu mengurangi beban kita.
  • sleeping. tidur itu bikin kita bisa lupa segalanya. apalagi kalok waktu tidur itu kita mimpiin sesuatu yang bikin kita seneng. jadi, berdoalah semoga dapet mimpi indah.
  • imagination. berimajinasi itu nggak perna salah. sekalipun kadang ada yang khayal. tapi itu cukup bisa bikin kita seneng lo.
itu sedikit tips dari BIAS buat kalian yang pada stres habis ujian. semoga bermanfaat.