By Sofi Atin XI IPA 2
“Perkenalkan, anak di samping ibu namanya Ginaldo Derinsyah.” Aku mengangguk pelan ketika namaku disebut oleh Ibu Reka yang sekarang berada di sampingku. Ya, hari ini adalah hari pertamaku untuk kembali melanjutkan sekolahku di SMA ini, setelah mengikuti pertukaran pelajar ke Australia. Belajar bersama dengan orang-orang yang biasanya menjadi adik kelasku. Aku melangkahkan kakiku ke satu-satunya bangku kosong yang ada dipaling pojok. Kuanggukkan kepalaku kepada seorang gadis yang akan menjadi teman sebangkuku. Tapi ia tak merespon sedikitpun anggukanku. Ia malah mengalihkan pandangannya ke mp4 yang ada di genggamannya tanpa menghiraukan keberadaanku. Saat pelajaran berlangsung, aku mencoba berkonsentrasi pada penjelasan Bu Reka dan mencatat beberapa hal yang kuanggap penting. Aku tak sengaja melirikkan mataku ke sisi kiriku. Kulihat gadis tadi tertidur dengan headset biru di telinganya. Ekspresi wajahnya jauh berbeda dengan ekspresi yang kulihat tadi. Sekarang tampak lebih hangat dan manis. Mungkin siapapun yang melihat raut wajahnya saat ini tidak akan menyangka bahwa ia sosok yang sangat dingin. Aku mengalihkan pandanganku ke depan kelas, mencoba kembali fokus dengan mata pelajaran yang diterangkan.
“Apakah kau sudah betah dikelas? Bagaimana rasanya duduk dengan Derin? Apakah sikapnya berubah menjadi manis kepadamu? ” Tanya Yuko yang merupakan satu-satunya anak laki-laki yang kukenal di kelas. Setelah itu ia melahap bakso yang barusan ia beli.
Aku sedikit kaget mendengar nama gadis itu.“Jadi namanya Derin? Manis? Aku bahkan tidak berbicara dengannya hingga sekarang. Dia seolah menganggapku tak ada.”
“Derin saat ini jauh berbeda dengan Derin setahun lalu. Dulu dia tipe yang ceria dan energik. Tapi entah mengapa dia berubah menjadi sosok yang sangat dingin, cuek, penyendiri, dan sering mengacuhkan orang-orang yang sedang berbicara kepada dirinya. Dan satu lagi, jangan kaget kalau ia selalu menghabiskan jam pelajaran dengan tidur atau membaca komik” Aku tidak terlalu kaget kalau ia sosok gadis yang dingin. Tapi untuk soal Derin yang dulu ceria dan energik, aku sangat terkejut.
Aku menghabiskan hari-hariku di sekolah dengan hal-hal yang sama. Belajar, jajan dikantin, pulang, ekskul, les, dan tanpa sapaan dari Derin. Sejujurnya aku ingin menyapanya, berkenalan, dan mendengar suaranya. Tapi aku tak punya banyak nyali untuk melakukan itu semua. Hingga ada seseorang yang datang kepadaku dan membeberkan semuanya.
“Apakah kakak ingat seseorang yang selalu membawa tulisan bertuliskan ‘GINALDO ILOVEYOU!’ ketika kakak sedang bertanding basket? Atau sosok yang selalu menaruh permen lollipop didalam loker kakak dengan kertas kecil yang berisi harapannya? Apakah kakak tahu seberapa senangnya dia ketika tahu bahwa namanya ada diantara nama kakak? Kakak terlalu sibuk memikirkan diri kakak sendiri. Kakak nggak pernah menghargai perasaan seseorang yang sudah tulus menyayangi kakak. Dan kakak juga nggak akan tahu kalo kakak udah membuat sosok itu menghilang. Semua itu karena kakak! Dia depresi karena dia tahu kalau kakak akan pergi jauh darinya. Hingga suatu peristiwa naas terjadi kepada dirinya. Apakah kakak tahu alasan mengapa Derin bertingkah dingin,cuek dan sering mengacuhkan orang yang sedang berbicara kepadanya? Atau alasan mengapa ia tak pernah mendengarkan penjelasan dari guru dan lebih memilih tidur? Ya, sosok yang aku ceritakan itu Derin. Gara-gara kecelakaan setahun lalu setelah kakak pergi ke Australia, ia amnesia dan telinga kirinya tidak berfungsi. Ia berusaha untuk menutupi penyakitnya kepada teman lainnya. Hingga, ia menjelma menjadi sosok yang menyedihkan. Apakah kakak tahu seberapa jahatkah orang seperti kakak sekarang?Aku harap kakak tahu dan mengerti”
Seluruh tubuhku terasa lemas mendengar itu semua. Bagaimana bisa aku yang menjadi penyebab dibalik semua itu? Bukankah sangat tak adil untukku yang sama sekali tidak tahu-menahu soal Derin yang menyukaiku. Apakah ini memang salahku karena tidak mengetahuinya? Entahlah. Aku bingung apa yang harus aku lakukan sekarang. Tapi yang pasti aku harus bertanggungjawab atas semua ini. Sedikit demi sedikit aku memberanikan diri untuk menunjukkan rasa care ku padanya. Awalnya aku melakukan semuanya atas rasa kasihan dan hormatku kepadanya yang sudah pernah mencintaiku. Tapi rasanya terlalu hina jika rasa kasihan menjadi alasan mengapa aku ingin selalu menjaganya dan ingin membuatnya bahagia. Sekarang aku benar-benar ingin menjadi alasan disetiap ia tersenyum dan tertawa.
“Apa maksud dari kata-kata yang kau tulis dibuku catatan yang kau pinjamkan kepadaku kemarin?” Aku sungguh tak menduga bahwa suara itu berasal dari mulut Derin. Dengan matanya dingin, ia menatapku sambil menyodorkan buku catatanku.
“Aku lebih tahu siapa dirimu sebenarnya dibandingkan kamu sendiri.Aku tahu bahwa sikapmu saat ini bukanlah sikapmu yang asli. Kau hanya terpuruk dengan kekurangan yang kamu punya dan tidak pernah berusaha untuk bangkit. Kau selalu menyalahkan dirimu sendiri. Pernahkah kau bersyukur karena dengan kamu tidak bisa mendengar dengan jelas, kamu tidak perlu menjadi sakit hati karena kata-kata kasar yang ditujukan kepadamu. Banyak hal yang masih dapat kamu syukuri di dunia ini.” Aku berkata sekeras mungkin agar dia dapat mendengar dengan jelas. Memang aku sedikit terbawa emosi. Lalu aku menulis sesuatu dibuku catatanku dan menyodorkannya kepada Derin. Apakah kau tahu seberapa menyedihkan dirimu jika dibandingkan dengan Derin yang dulu?
“Aku tidak pernah bilang bahwa aku butuh penilaianmu tentang diriku yang sekarang dengan yang dulu.” Kata Derin yang bersikukuh dengan sikap keras kepalanya.
“Bahkan dalam kondisi seperti inipun, kau masih bersikap keras kepala dan bepura-pura tidak menganggap orang-orang yang tulus menyayangimu. Derin, masih banyak diluar sana yang memiliki kekurangan lebih dari kamu. Derita yang mereka rasakan, mungkin juga lebih berat dari kamu. Tapi, buktinya mereka mampu move on dari semua itu dan menghabiskan hari-harinya dengan senyuman dan tawa bahagia. Dan kini saatnya kamu menjadi salah satu bagian dari mereka.” Kutarik kembali buku catatan yang ada didepan Derin dan kembali menuliskan beberapa kata. Ijinkan aku membuatmu bahagia!
“Bisakah aku percaya semua perkataan dari orang yang baru kukenal? Dapatkah kupegang janji dari seseorang yang baru kuajak bicara? Bukankah aku akan terlihat bodoh jika percaya begitu saja dengan perkataan dan janjimu?”Aku mengeluarkan sebuah toples dari tasku yang berisi kertas-kertas kecil dan kuberikan kepada Derin untuk dibaca.
“Mengapa tulisan di semua kertas ini mirip dengan tulisanku?”
“Kau bahkan masih ragu dengan tulisanmu sendiri. Bukankah itu menunjukkan bahwa engkau tidak terlalu mengenal dirimu sendiri saat ini? Aku sudah pernah berkata, bahwa aku lebih mengenalmu dari pada dirimu sendiri. Apakah aku masih terlihat seperti seorang pembohong sekarang?”Ia hanya menatapku dan tak mengeluarkan sepatah katapun. “Semua harapan yang kau tujukan kepadaku masih kusimpan sampai sekarang. Begitupun dengan cinta tulusmu kepadaku. Dan aku ingin mewujudkan semua harapan indah itu bersama denganmu.” Kuraih tangan kanan Derin. Kugambar sebuah hati menggunakan telunjuk kananku, lalu menggenggamnya erat-erat. Dan saat itulah aku melihat senyum manis Derin yang sempat hilang, kembali lagi. -THE END-
“Apakah kau sudah betah dikelas? Bagaimana rasanya duduk dengan Derin? Apakah sikapnya berubah menjadi manis kepadamu? ” Tanya Yuko yang merupakan satu-satunya anak laki-laki yang kukenal di kelas. Setelah itu ia melahap bakso yang barusan ia beli.
Aku sedikit kaget mendengar nama gadis itu.“Jadi namanya Derin? Manis? Aku bahkan tidak berbicara dengannya hingga sekarang. Dia seolah menganggapku tak ada.”
“Derin saat ini jauh berbeda dengan Derin setahun lalu. Dulu dia tipe yang ceria dan energik. Tapi entah mengapa dia berubah menjadi sosok yang sangat dingin, cuek, penyendiri, dan sering mengacuhkan orang-orang yang sedang berbicara kepada dirinya. Dan satu lagi, jangan kaget kalau ia selalu menghabiskan jam pelajaran dengan tidur atau membaca komik” Aku tidak terlalu kaget kalau ia sosok gadis yang dingin. Tapi untuk soal Derin yang dulu ceria dan energik, aku sangat terkejut.
Aku menghabiskan hari-hariku di sekolah dengan hal-hal yang sama. Belajar, jajan dikantin, pulang, ekskul, les, dan tanpa sapaan dari Derin. Sejujurnya aku ingin menyapanya, berkenalan, dan mendengar suaranya. Tapi aku tak punya banyak nyali untuk melakukan itu semua. Hingga ada seseorang yang datang kepadaku dan membeberkan semuanya.
“Apakah kakak ingat seseorang yang selalu membawa tulisan bertuliskan ‘GINALDO ILOVEYOU!’ ketika kakak sedang bertanding basket? Atau sosok yang selalu menaruh permen lollipop didalam loker kakak dengan kertas kecil yang berisi harapannya? Apakah kakak tahu seberapa senangnya dia ketika tahu bahwa namanya ada diantara nama kakak? Kakak terlalu sibuk memikirkan diri kakak sendiri. Kakak nggak pernah menghargai perasaan seseorang yang sudah tulus menyayangi kakak. Dan kakak juga nggak akan tahu kalo kakak udah membuat sosok itu menghilang. Semua itu karena kakak! Dia depresi karena dia tahu kalau kakak akan pergi jauh darinya. Hingga suatu peristiwa naas terjadi kepada dirinya. Apakah kakak tahu alasan mengapa Derin bertingkah dingin,cuek dan sering mengacuhkan orang yang sedang berbicara kepadanya? Atau alasan mengapa ia tak pernah mendengarkan penjelasan dari guru dan lebih memilih tidur? Ya, sosok yang aku ceritakan itu Derin. Gara-gara kecelakaan setahun lalu setelah kakak pergi ke Australia, ia amnesia dan telinga kirinya tidak berfungsi. Ia berusaha untuk menutupi penyakitnya kepada teman lainnya. Hingga, ia menjelma menjadi sosok yang menyedihkan. Apakah kakak tahu seberapa jahatkah orang seperti kakak sekarang?Aku harap kakak tahu dan mengerti”
Seluruh tubuhku terasa lemas mendengar itu semua. Bagaimana bisa aku yang menjadi penyebab dibalik semua itu? Bukankah sangat tak adil untukku yang sama sekali tidak tahu-menahu soal Derin yang menyukaiku. Apakah ini memang salahku karena tidak mengetahuinya? Entahlah. Aku bingung apa yang harus aku lakukan sekarang. Tapi yang pasti aku harus bertanggungjawab atas semua ini. Sedikit demi sedikit aku memberanikan diri untuk menunjukkan rasa care ku padanya. Awalnya aku melakukan semuanya atas rasa kasihan dan hormatku kepadanya yang sudah pernah mencintaiku. Tapi rasanya terlalu hina jika rasa kasihan menjadi alasan mengapa aku ingin selalu menjaganya dan ingin membuatnya bahagia. Sekarang aku benar-benar ingin menjadi alasan disetiap ia tersenyum dan tertawa.
“Apa maksud dari kata-kata yang kau tulis dibuku catatan yang kau pinjamkan kepadaku kemarin?” Aku sungguh tak menduga bahwa suara itu berasal dari mulut Derin. Dengan matanya dingin, ia menatapku sambil menyodorkan buku catatanku.
“Aku lebih tahu siapa dirimu sebenarnya dibandingkan kamu sendiri.Aku tahu bahwa sikapmu saat ini bukanlah sikapmu yang asli. Kau hanya terpuruk dengan kekurangan yang kamu punya dan tidak pernah berusaha untuk bangkit. Kau selalu menyalahkan dirimu sendiri. Pernahkah kau bersyukur karena dengan kamu tidak bisa mendengar dengan jelas, kamu tidak perlu menjadi sakit hati karena kata-kata kasar yang ditujukan kepadamu. Banyak hal yang masih dapat kamu syukuri di dunia ini.” Aku berkata sekeras mungkin agar dia dapat mendengar dengan jelas. Memang aku sedikit terbawa emosi. Lalu aku menulis sesuatu dibuku catatanku dan menyodorkannya kepada Derin. Apakah kau tahu seberapa menyedihkan dirimu jika dibandingkan dengan Derin yang dulu?
“Aku tidak pernah bilang bahwa aku butuh penilaianmu tentang diriku yang sekarang dengan yang dulu.” Kata Derin yang bersikukuh dengan sikap keras kepalanya.
“Bahkan dalam kondisi seperti inipun, kau masih bersikap keras kepala dan bepura-pura tidak menganggap orang-orang yang tulus menyayangimu. Derin, masih banyak diluar sana yang memiliki kekurangan lebih dari kamu. Derita yang mereka rasakan, mungkin juga lebih berat dari kamu. Tapi, buktinya mereka mampu move on dari semua itu dan menghabiskan hari-harinya dengan senyuman dan tawa bahagia. Dan kini saatnya kamu menjadi salah satu bagian dari mereka.” Kutarik kembali buku catatan yang ada didepan Derin dan kembali menuliskan beberapa kata. Ijinkan aku membuatmu bahagia!
“Bisakah aku percaya semua perkataan dari orang yang baru kukenal? Dapatkah kupegang janji dari seseorang yang baru kuajak bicara? Bukankah aku akan terlihat bodoh jika percaya begitu saja dengan perkataan dan janjimu?”Aku mengeluarkan sebuah toples dari tasku yang berisi kertas-kertas kecil dan kuberikan kepada Derin untuk dibaca.
“Mengapa tulisan di semua kertas ini mirip dengan tulisanku?”
“Kau bahkan masih ragu dengan tulisanmu sendiri. Bukankah itu menunjukkan bahwa engkau tidak terlalu mengenal dirimu sendiri saat ini? Aku sudah pernah berkata, bahwa aku lebih mengenalmu dari pada dirimu sendiri. Apakah aku masih terlihat seperti seorang pembohong sekarang?”Ia hanya menatapku dan tak mengeluarkan sepatah katapun. “Semua harapan yang kau tujukan kepadaku masih kusimpan sampai sekarang. Begitupun dengan cinta tulusmu kepadaku. Dan aku ingin mewujudkan semua harapan indah itu bersama denganmu.” Kuraih tangan kanan Derin. Kugambar sebuah hati menggunakan telunjuk kananku, lalu menggenggamnya erat-erat. Dan saat itulah aku melihat senyum manis Derin yang sempat hilang, kembali lagi. -THE END-
0 komentar:
Posting Komentar