By Hanna Nabila XI IPA 6
"Cedaar..!!"
Tepukan di bahu itu terasa familiar. Cedar memalingkan tubuhnya begitu ia yakin siapa yang menyerukan namanya.
"Kamu ini, jangan lupa bawa PR kimia yang sudah kita kerjakan susah payah, dong."
Sosok dihadapannya mengibas-ibaskan selembar kertas folio dengan kesalnya.
"Dillo? Duh, maaf.. Aku lupa lagi." Ujar Cedar mengacungkan dua jarinya lebar-lebar, mengisyaratkan kata 'suer'.
Yang diajak bicara hanya menyunggingkan senyum kecil berharap gadis di hadapannya ini tak bisa jadi lebih ceroboh lagi. "Selalu lupa. Yaudah, nih bawa sendiri, jangan sampai lupa kamu taruh mana ya." Ujar Dillo seraya menyerahkan folio yang sudah terisi penuh tadi.
Cedar berjalan menyusuri lorong panjang di skolahnya. Dillo mengiringi langkahnya sepanjang ubin menuju ke ruang kelas. Mereka bercakap seru seperti biasa. Sungguh sepasang sahabat yang serasi.
Dillo dan Cedar sudah lama saling kenal. Sampai-sampai Cedar tak ingat kapan pertama kali ia bertemu dengan Dillo. Mungkin, mulai hari itulah Dillo berlagak menjadi alarm yang akan selalu mengingatkan Cedar akan hal-hal yang biasa ia lupakan.
"Dasar pikun!" Dillo memukul kepala Cedar dengan gulungan kertas. Baru saja bel pulang berbunyi dan Cedar sudah kembali pada kebiasaan buruknya, "Aduh.. Ampun.. Lagian, kenapa juga kamu yang mesti sewot tiap kali aku lupa bawa barang?"
Dillo terdiam untuk beberapa saat. Ia menyodorkan flashdisk dengan gantungan boneka beruang yang cukup besar untuk bisa diabaikan seseorang. "Karena kamu memang selalu melupakan segalanya."
Cedar mengambil flashdisk yang menjadi miliknya itu. Setengah hati ia meragukan dirinya yang sudah dengan ceroboh meninggalkan barang berharganya di atas meja begitu saja. “Kamu menyebalkan!” Ujarnya manyun. “Beri aku enam hari dan akan ku buktikan kalau aku tidak se pikun yang kamu kira!”
“Hey, yakin, nih?”
“Yakin! Kalau aku bisa, kamu mau kasih aku apa?”
Dillo mengangkat satu alisnya heran. Baru kali ini ia melihat Cedar begitu terobsesi melakukan sesuatu. “Okey, gini deh, kalau kamu bisa buktiin, aku traktir minum di rumah es krim favoritmu.”
“Setuju!” Cedar hendak merebut tangan Dillo sebelum tangannya ditepis sohibnya itu. “Tapi..” Dillo menekankan suaranya. “Tapi...” Cedar membeo. Keduanya saling bertatapan.
“Tapi, aku akan pergi kalau kau gagal.”
“Tapi, aku tak peduli apa pun kalau aku gagal!”
Keduanya berkata di waktu yang nyaris bersamaan. Cedar mengambil tangan Dillo yang berarti mereka harus sepakat. Ia tak peduli konsekuensi lain karena ia tak mungkin gagal. Baginya sudah cukup ditandai sebagai yang ‘ter-pikun’ di kelasnya.
“Tapi Cedar, aku akan benar-benar pergi. Maksudku, aku tak akan jadi sahabatmu lagi, aku tak akan pergi denganmu lagi.” Dillo berusaha menyatakan maksud yang sebenarnya.
“Aku tak mengerti sekaligus bosan dengan konsekuensi itu. Terakhir, kau juga menjanjikan hal yang sama kalau seandainya nilai ulangan biologi ku tidak bisa lebih baik dari punyamu. Tapi, waktu itu aku menang dan aku yakin yang ini juga pasti ku menangkan! Week..”
Cedar meledek Dillo dengan juluran lidahnya. Ia melenggang pergi mendahului Dillo yang lagi-lagi menyunggingkan senyum kecilnya sambil menggeleng. Seandainya Cedar tahu bahwa saat itu butuh perjuangan berat untuk memenuhi janjinya. Untuk tetap tinggal dan menemani Cedar menonton bioskop seperti yang menjadi kesepakatan mereka.
Hari demi hari berlalu. Tak seperti biasa, Cedar selalu mengantongi sebuah buku kecil berisi catatan hal apa saja yang harus ia lakukan dan benda apa yang harus ia bawa. Sudah 5 hari ia melakukan ini dan sudah berkali-kali pula ia membanggakan keberhasilannya pada Dillo. Hanya tinggal sehari lagi, tapi ia tak melihat Dillo hari ini.
“Tumben Dillo nggak keliatan, apa dia bolos?” Cedar membereskan mejanya bersiap untuk pulang. Catatannya satu per satu ia centang, menandai benda yang sudah masuk ke dalam tasnya. “Apa dia sakit? Bukan Dillo banget. Jangan-jangan dia bolos, takut janjinya aku tagih. Dasar curang!” Cedar memilih untuk mengabaikannya dan pulang dengan santai.
Keesokan hari sepulang sekolah, Cedar tersenyum sumringah. Ia mencentang barang terakhir yang mungkin ia lupakan. Hanya tinggal satu hal yang harus ia lakukan setelah ini, pergi ke rumah es krim bersama Dillo. Itu pun kalau Dillo datang ke sekolah hari ini. Cedar mulai merasa ada yang aneh. Ini bukan Dillo yang biasanya selalu menepati janji.
Akhirnya, Cedar memutuskan untuk datang ke rumah Dillo, siapa tau memang ada sesuatu yang menimpanya. Sesampainya di depan pagar, ia disambut seorang gadis kecil yang rambutnya diikat dua. Gadis kecil itu menghampiri Cedar, “Kakak pacarnya Kak Dillo.”
Cedar tidak mengerti apakah itu sapaan atau sebuah pertanyaan. Gadis kecil itu menyodorkan selembar kertas yang dilipat jadi empat. “Kakak bukan pacar Kak Dillo, kakak teman dekatnya.” Ujar Cedar sembari mengambil kertas itu dengan lembut.
“Kakak tidak ingat.”
Perkataan gadis kecil itu sontak membuat Cedar heran. Bagian mana yang tidak ia ingat? Bukankah sejak dulu ia dan Dillo bersahabat?
Gadis kecil itu mendongak dan berkata, “Namaku Bella, adik Kak Dillo.”
“Bella, Kak Dillo nya ke mana?” Cedar mengelus kepala Bella sayang.
“Mama bilang, kak Dillo pergi. Ke tempat yang jauh. Nanti kita juga akan pergi ke sana.”
Cedar semakin tak mengerti. Ia membuka lipatan kertas yang diterimanya. Di sana tertulis beberapa baris kalimat “Sayang, kamu justru melupakan hal yang aku tak pernah lupa. Terima kasih sudah membuatku bertahan sejauh ini. I Love You.”
Cedar merasa kepalanya pening. Masih ada hal yang ia lupakan. Satu hal yang sangat penting. Suara decitan-decitan aneh mulai berbunyi di telinganya. Bayangan Dillo lantas terlintas di pikirannya.
Dillo sedang mengendarai sepeda motor dan ia duduk di belakang. Saat itu hujan petir dan jalanan terasa licin. Tiba-tiba, datang dari arah tikungan, truk pengangkut kayu yang ugal-ugalan dan berjalan melawan arah. Dillo menghindar, tapi sepedanya oleng. Cedar tersungkur di aspal. Kepalanya terasa pusing, tapi ia dapat merasakan tubuh hangat yang mendekapnya erat. Dillo. Sorot lampu yang menyilaukan itu semakin dekat, membuatnya melupakan segalanya.
“Tulang punggungnya retak, lambungnya sobek, gagar otak. Aku tidak tahu, dokter bilang yang aneh-aneh soal kakak.” Bella memanyunkan bibirnya.
Cedar mengusap lelehan permata di pipinya. Dillo bertahan hanya untuk menantinya ingat akan hubungan mereka. Amnesia. Cedar yakin ia menderita penyakit ini. Mungkin itu alasan mengapa Dillo tak pernah mengatakan yang sesungguhnya. Dillo takut mengganggu kesehatannya. Bodoh, sekarang ia ingat. Cedar ingat pria bodoh yang sangat ia cintai.
“Aku.. memang selalu melupakan segalanya, ya kan Dill? Sama seperti kamu yang selalu bertingkah bodoh seperti biasa.”
Bella memeluk Cedar dengan tangan mungilnya. Gadis kecil ini seolah tahu perasaan yang tengah dirasakan Cedar, “Kak Dillo bilang, ia tak akan melupakannya, jadi kakak juga harus janji untuk tidak melupakannya lagi.”
Cedar mengangguk kencang. Tidak untuk Dillo. Tidak untuk yang kedua kali.
"Cedaar..!!"
Tepukan di bahu itu terasa familiar. Cedar memalingkan tubuhnya begitu ia yakin siapa yang menyerukan namanya.
"Kamu ini, jangan lupa bawa PR kimia yang sudah kita kerjakan susah payah, dong."
Sosok dihadapannya mengibas-ibaskan selembar kertas folio dengan kesalnya.
"Dillo? Duh, maaf.. Aku lupa lagi." Ujar Cedar mengacungkan dua jarinya lebar-lebar, mengisyaratkan kata 'suer'.
Yang diajak bicara hanya menyunggingkan senyum kecil berharap gadis di hadapannya ini tak bisa jadi lebih ceroboh lagi. "Selalu lupa. Yaudah, nih bawa sendiri, jangan sampai lupa kamu taruh mana ya." Ujar Dillo seraya menyerahkan folio yang sudah terisi penuh tadi.
Cedar berjalan menyusuri lorong panjang di skolahnya. Dillo mengiringi langkahnya sepanjang ubin menuju ke ruang kelas. Mereka bercakap seru seperti biasa. Sungguh sepasang sahabat yang serasi.
Dillo dan Cedar sudah lama saling kenal. Sampai-sampai Cedar tak ingat kapan pertama kali ia bertemu dengan Dillo. Mungkin, mulai hari itulah Dillo berlagak menjadi alarm yang akan selalu mengingatkan Cedar akan hal-hal yang biasa ia lupakan.
"Dasar pikun!" Dillo memukul kepala Cedar dengan gulungan kertas. Baru saja bel pulang berbunyi dan Cedar sudah kembali pada kebiasaan buruknya, "Aduh.. Ampun.. Lagian, kenapa juga kamu yang mesti sewot tiap kali aku lupa bawa barang?"
Dillo terdiam untuk beberapa saat. Ia menyodorkan flashdisk dengan gantungan boneka beruang yang cukup besar untuk bisa diabaikan seseorang. "Karena kamu memang selalu melupakan segalanya."
Cedar mengambil flashdisk yang menjadi miliknya itu. Setengah hati ia meragukan dirinya yang sudah dengan ceroboh meninggalkan barang berharganya di atas meja begitu saja. “Kamu menyebalkan!” Ujarnya manyun. “Beri aku enam hari dan akan ku buktikan kalau aku tidak se pikun yang kamu kira!”
“Hey, yakin, nih?”
“Yakin! Kalau aku bisa, kamu mau kasih aku apa?”
Dillo mengangkat satu alisnya heran. Baru kali ini ia melihat Cedar begitu terobsesi melakukan sesuatu. “Okey, gini deh, kalau kamu bisa buktiin, aku traktir minum di rumah es krim favoritmu.”
“Setuju!” Cedar hendak merebut tangan Dillo sebelum tangannya ditepis sohibnya itu. “Tapi..” Dillo menekankan suaranya. “Tapi...” Cedar membeo. Keduanya saling bertatapan.
“Tapi, aku akan pergi kalau kau gagal.”
“Tapi, aku tak peduli apa pun kalau aku gagal!”
Keduanya berkata di waktu yang nyaris bersamaan. Cedar mengambil tangan Dillo yang berarti mereka harus sepakat. Ia tak peduli konsekuensi lain karena ia tak mungkin gagal. Baginya sudah cukup ditandai sebagai yang ‘ter-pikun’ di kelasnya.
“Tapi Cedar, aku akan benar-benar pergi. Maksudku, aku tak akan jadi sahabatmu lagi, aku tak akan pergi denganmu lagi.” Dillo berusaha menyatakan maksud yang sebenarnya.
“Aku tak mengerti sekaligus bosan dengan konsekuensi itu. Terakhir, kau juga menjanjikan hal yang sama kalau seandainya nilai ulangan biologi ku tidak bisa lebih baik dari punyamu. Tapi, waktu itu aku menang dan aku yakin yang ini juga pasti ku menangkan! Week..”
Cedar meledek Dillo dengan juluran lidahnya. Ia melenggang pergi mendahului Dillo yang lagi-lagi menyunggingkan senyum kecilnya sambil menggeleng. Seandainya Cedar tahu bahwa saat itu butuh perjuangan berat untuk memenuhi janjinya. Untuk tetap tinggal dan menemani Cedar menonton bioskop seperti yang menjadi kesepakatan mereka.
Hari demi hari berlalu. Tak seperti biasa, Cedar selalu mengantongi sebuah buku kecil berisi catatan hal apa saja yang harus ia lakukan dan benda apa yang harus ia bawa. Sudah 5 hari ia melakukan ini dan sudah berkali-kali pula ia membanggakan keberhasilannya pada Dillo. Hanya tinggal sehari lagi, tapi ia tak melihat Dillo hari ini.
“Tumben Dillo nggak keliatan, apa dia bolos?” Cedar membereskan mejanya bersiap untuk pulang. Catatannya satu per satu ia centang, menandai benda yang sudah masuk ke dalam tasnya. “Apa dia sakit? Bukan Dillo banget. Jangan-jangan dia bolos, takut janjinya aku tagih. Dasar curang!” Cedar memilih untuk mengabaikannya dan pulang dengan santai.
Keesokan hari sepulang sekolah, Cedar tersenyum sumringah. Ia mencentang barang terakhir yang mungkin ia lupakan. Hanya tinggal satu hal yang harus ia lakukan setelah ini, pergi ke rumah es krim bersama Dillo. Itu pun kalau Dillo datang ke sekolah hari ini. Cedar mulai merasa ada yang aneh. Ini bukan Dillo yang biasanya selalu menepati janji.
Akhirnya, Cedar memutuskan untuk datang ke rumah Dillo, siapa tau memang ada sesuatu yang menimpanya. Sesampainya di depan pagar, ia disambut seorang gadis kecil yang rambutnya diikat dua. Gadis kecil itu menghampiri Cedar, “Kakak pacarnya Kak Dillo.”
Cedar tidak mengerti apakah itu sapaan atau sebuah pertanyaan. Gadis kecil itu menyodorkan selembar kertas yang dilipat jadi empat. “Kakak bukan pacar Kak Dillo, kakak teman dekatnya.” Ujar Cedar sembari mengambil kertas itu dengan lembut.
“Kakak tidak ingat.”
Perkataan gadis kecil itu sontak membuat Cedar heran. Bagian mana yang tidak ia ingat? Bukankah sejak dulu ia dan Dillo bersahabat?
Gadis kecil itu mendongak dan berkata, “Namaku Bella, adik Kak Dillo.”
“Bella, Kak Dillo nya ke mana?” Cedar mengelus kepala Bella sayang.
“Mama bilang, kak Dillo pergi. Ke tempat yang jauh. Nanti kita juga akan pergi ke sana.”
Cedar semakin tak mengerti. Ia membuka lipatan kertas yang diterimanya. Di sana tertulis beberapa baris kalimat “Sayang, kamu justru melupakan hal yang aku tak pernah lupa. Terima kasih sudah membuatku bertahan sejauh ini. I Love You.”
Cedar merasa kepalanya pening. Masih ada hal yang ia lupakan. Satu hal yang sangat penting. Suara decitan-decitan aneh mulai berbunyi di telinganya. Bayangan Dillo lantas terlintas di pikirannya.
Dillo sedang mengendarai sepeda motor dan ia duduk di belakang. Saat itu hujan petir dan jalanan terasa licin. Tiba-tiba, datang dari arah tikungan, truk pengangkut kayu yang ugal-ugalan dan berjalan melawan arah. Dillo menghindar, tapi sepedanya oleng. Cedar tersungkur di aspal. Kepalanya terasa pusing, tapi ia dapat merasakan tubuh hangat yang mendekapnya erat. Dillo. Sorot lampu yang menyilaukan itu semakin dekat, membuatnya melupakan segalanya.
“Tulang punggungnya retak, lambungnya sobek, gagar otak. Aku tidak tahu, dokter bilang yang aneh-aneh soal kakak.” Bella memanyunkan bibirnya.
Cedar mengusap lelehan permata di pipinya. Dillo bertahan hanya untuk menantinya ingat akan hubungan mereka. Amnesia. Cedar yakin ia menderita penyakit ini. Mungkin itu alasan mengapa Dillo tak pernah mengatakan yang sesungguhnya. Dillo takut mengganggu kesehatannya. Bodoh, sekarang ia ingat. Cedar ingat pria bodoh yang sangat ia cintai.
“Aku.. memang selalu melupakan segalanya, ya kan Dill? Sama seperti kamu yang selalu bertingkah bodoh seperti biasa.”
Bella memeluk Cedar dengan tangan mungilnya. Gadis kecil ini seolah tahu perasaan yang tengah dirasakan Cedar, “Kak Dillo bilang, ia tak akan melupakannya, jadi kakak juga harus janji untuk tidak melupakannya lagi.”
Cedar mengangguk kencang. Tidak untuk Dillo. Tidak untuk yang kedua kali.
0 komentar:
Posting Komentar