By Rike Andriyani XI IPA 2
Aku mencari benda itu selama beberapa jam. Sudah lama aku tak memakai benda itu sejak terakhir kali aku bertemu dengannya. Bagaimana perasaannya jika ia mengetahui bahwa benda itu telah hilang? Akankah ia marah padaku? Akankah ia memutuskan hubungannya denganku? Aku tak ingin hal tersebut terjadi. Kita telah memiliki hubungan selama kurang lebih 4 tahun, dan harus berakhir selama beberapa menit karena kelalaianku menyimpan benda sepenting itu?
***
Aku kembali berceloteh tentang sesuatu yang tak berguna. Entah mengapa gadis di depanku ini tertawa terpingkal-pingkal karena celotehku yang bahkan tak lucu itu. Aku terdiam sejenak.
“Apakah yang aku bicarakan itu lucu?” Aku bertanya padanya dengan polosnya. Ia menggembungkan pipinya, lalu kembali tertawa terpingkal-pingkal. Kali ini tawanya lebih keras. Apakah aku lucu? Haha, tidak mungkin.
“Kau lucu sekali, Kara. Bagaimana kau tak sadar akan potensimu sebagai pelawak?” Apakah aku selucu itu?
“Aku memiliki tampang yang jauh lebih menarik untuk menjadi seorang pelawak,”Aku mengerucutkan bibirku saat ia mengatakan bahwa aku cocok menjadi pelawak. Bukankah itu semacam badut?
“Nah, itu dia. Tampangmu yang lucu itu yang membuatmu sangat cocok menjadi seorang pelawak. Bukankah itu trend baru? Seorang pelawak cantik, pasti akan ada banyak laki-laki yang mengagumimu,”
“Oh,ya. Kemarin aku baru datang dari Tokyo. Aku membawakan oleh-oleh untukmu,” Ia meraih tanganku dan meletakkan sebuah kalung cantik bertuliskan huruf N&K di tengah kalung itu di telapak tanganku. Aku mengambil kalung itu dan memakaikannya di leherku.
“Ah, cocok sekali,” Lalu Nara memperlihatkan kalung yang sama yang ia pakai di lehernya. Aku sangat menyukai kalung putih tersebut.
“Kalung ini merupakan simbol persahabatan kita. Aku mohon jangan sampai kau menghilangkan kalung ini,” Aku mengangguk menyetujui permintaannya. Aku janji aku tak akan menghilangkan kalung berharga ini.
***
Aku sangat khawatir tentang bagaimana hubungan kami selanjutnya. Kau tahu, aku harus memakai kalung itu tepat pada hari ulang tahunnya besok sore. Bagaimana jika dia menanyakan tentang keberadaan kalung itu? Aku menyerah! Aku tak bisa menemukan kalung itu. Aku akan menghadapi apapun resikonya. Aku akan menerima semua yang akan ia katakan padaku. Walau aku tak bisa jika ia menjauhiku. Aku sudah cukup kesepian sejak kami tinggal di daerah yang berbeda.
***
Kini aku telah sampai di depan rumahnya. Syukurlah hari ulang tahunnya bertepatan dengan hari libur, jadi aku tak usah mengirimkan surat ijin ke sekolah. Aku memencet tombol di gerbang depan rumahnya. Dan sedetik kemudian, bel rumahnya pun berbunyi.
Seorang gadis berambut sebahu membuka pintu rumahnya yang tinggi. Lalu ia menghampiriku yang berada di depan gerbang rumahnya.Sebuah senyuman manis, ia tujukan padaku. Aku merasa sangat bersalah padanya. Aku berusaha membalas senyumannya itu dengan setengah hati. Akupun memasuki halaman rumahnya yang penuh dengan pepohonan.
“Selamat ulang tahun, Nara. Maaf aku hanya bisa memberikan ini padamu,” Aku segera memberikan bingkisan berukuran sedang padanya.
“Oh ayolah. Kedatanganmu hari ini saja sudah sangat cukup bagiku,” Ia tersenyum lalu memelukku dengan erat. Lalu ia menyentuh bagian leherku tanpa disengaja.
“Dimanakah kalungmu?” Aku terkejut dengan ucapannya. Jantungku berdegup dengan kencang. Aku takut. Aku takut ia akan menghindariku bahkan lebih parah lagi ia akan memutuskan tali persahabatan di antara kita.
“Itu...” aku menggantungkan kalimatku. Lidahku kaku untuk mengucapkannya. Aku terlalu takut akan kemungkinan-kemungkinan itu.
“Apa kau menghilangkannya?” Kali ini aku bahkan tak bisa bernapas. Oksigen yang kuhirup serasa terhenti di tenggorokanku. Keringat dingin keluar dari setiap pori-pori di seluruh tubuhku. Ototku kaku walau hanya untuk menggerakkan sebelah tanganku saja.
“Maafkan aku, Nara. Aku telah menghilangkan benda sepenting itu. Aku memang tak berguna. Aku telah lalai menyimpannya. Aku akan menerima semua hukuman yang kau berikan padaku,” Ia menghembuskan napasnya dengan berat. Lalu ia kembali memelukku dengan lebih erat.
“Inilah hukuman yang pantas kau dapatkan,” Aku terkejut. Aku sungguh tak menyangka ia tak memarahiku atau bahkan memusuhiku.
“Tapi...”
“Sudahlah, benda itu tak penting. Aku sudah menyadarinya kalau benda itu akan segera hilang selepas aku memberikannya padamu. Karena aku tahu bahwa kau adalah gadis yang pelupa,” Aku tersenyum dalam pelukannya. Aku tak bisa menahan air mata yang sedaritadi aku tahan di pelupuk mata.
“Tapi aku tak bisa..”
“Sahabat bukanlah diukur dari seberapa lama kamu menyimpan benda pemberian itu, tapi diukur seberapa lama kamu menganggapku sebagai bagian dari hidupmu,”
***
Aku kembali berceloteh tentang sesuatu yang tak berguna. Entah mengapa gadis di depanku ini tertawa terpingkal-pingkal karena celotehku yang bahkan tak lucu itu. Aku terdiam sejenak.
“Apakah yang aku bicarakan itu lucu?” Aku bertanya padanya dengan polosnya. Ia menggembungkan pipinya, lalu kembali tertawa terpingkal-pingkal. Kali ini tawanya lebih keras. Apakah aku lucu? Haha, tidak mungkin.
“Kau lucu sekali, Kara. Bagaimana kau tak sadar akan potensimu sebagai pelawak?” Apakah aku selucu itu?
“Aku memiliki tampang yang jauh lebih menarik untuk menjadi seorang pelawak,”Aku mengerucutkan bibirku saat ia mengatakan bahwa aku cocok menjadi pelawak. Bukankah itu semacam badut?
“Nah, itu dia. Tampangmu yang lucu itu yang membuatmu sangat cocok menjadi seorang pelawak. Bukankah itu trend baru? Seorang pelawak cantik, pasti akan ada banyak laki-laki yang mengagumimu,”
“Oh,ya. Kemarin aku baru datang dari Tokyo. Aku membawakan oleh-oleh untukmu,” Ia meraih tanganku dan meletakkan sebuah kalung cantik bertuliskan huruf N&K di tengah kalung itu di telapak tanganku. Aku mengambil kalung itu dan memakaikannya di leherku.
“Ah, cocok sekali,” Lalu Nara memperlihatkan kalung yang sama yang ia pakai di lehernya. Aku sangat menyukai kalung putih tersebut.
“Kalung ini merupakan simbol persahabatan kita. Aku mohon jangan sampai kau menghilangkan kalung ini,” Aku mengangguk menyetujui permintaannya. Aku janji aku tak akan menghilangkan kalung berharga ini.
***
Aku sangat khawatir tentang bagaimana hubungan kami selanjutnya. Kau tahu, aku harus memakai kalung itu tepat pada hari ulang tahunnya besok sore. Bagaimana jika dia menanyakan tentang keberadaan kalung itu? Aku menyerah! Aku tak bisa menemukan kalung itu. Aku akan menghadapi apapun resikonya. Aku akan menerima semua yang akan ia katakan padaku. Walau aku tak bisa jika ia menjauhiku. Aku sudah cukup kesepian sejak kami tinggal di daerah yang berbeda.
***
Kini aku telah sampai di depan rumahnya. Syukurlah hari ulang tahunnya bertepatan dengan hari libur, jadi aku tak usah mengirimkan surat ijin ke sekolah. Aku memencet tombol di gerbang depan rumahnya. Dan sedetik kemudian, bel rumahnya pun berbunyi.
Seorang gadis berambut sebahu membuka pintu rumahnya yang tinggi. Lalu ia menghampiriku yang berada di depan gerbang rumahnya.Sebuah senyuman manis, ia tujukan padaku. Aku merasa sangat bersalah padanya. Aku berusaha membalas senyumannya itu dengan setengah hati. Akupun memasuki halaman rumahnya yang penuh dengan pepohonan.
“Selamat ulang tahun, Nara. Maaf aku hanya bisa memberikan ini padamu,” Aku segera memberikan bingkisan berukuran sedang padanya.
“Oh ayolah. Kedatanganmu hari ini saja sudah sangat cukup bagiku,” Ia tersenyum lalu memelukku dengan erat. Lalu ia menyentuh bagian leherku tanpa disengaja.
“Dimanakah kalungmu?” Aku terkejut dengan ucapannya. Jantungku berdegup dengan kencang. Aku takut. Aku takut ia akan menghindariku bahkan lebih parah lagi ia akan memutuskan tali persahabatan di antara kita.
“Itu...” aku menggantungkan kalimatku. Lidahku kaku untuk mengucapkannya. Aku terlalu takut akan kemungkinan-kemungkinan itu.
“Apa kau menghilangkannya?” Kali ini aku bahkan tak bisa bernapas. Oksigen yang kuhirup serasa terhenti di tenggorokanku. Keringat dingin keluar dari setiap pori-pori di seluruh tubuhku. Ototku kaku walau hanya untuk menggerakkan sebelah tanganku saja.
“Maafkan aku, Nara. Aku telah menghilangkan benda sepenting itu. Aku memang tak berguna. Aku telah lalai menyimpannya. Aku akan menerima semua hukuman yang kau berikan padaku,” Ia menghembuskan napasnya dengan berat. Lalu ia kembali memelukku dengan lebih erat.
“Inilah hukuman yang pantas kau dapatkan,” Aku terkejut. Aku sungguh tak menyangka ia tak memarahiku atau bahkan memusuhiku.
“Tapi...”
“Sudahlah, benda itu tak penting. Aku sudah menyadarinya kalau benda itu akan segera hilang selepas aku memberikannya padamu. Karena aku tahu bahwa kau adalah gadis yang pelupa,” Aku tersenyum dalam pelukannya. Aku tak bisa menahan air mata yang sedaritadi aku tahan di pelupuk mata.
“Tapi aku tak bisa..”
“Sahabat bukanlah diukur dari seberapa lama kamu menyimpan benda pemberian itu, tapi diukur seberapa lama kamu menganggapku sebagai bagian dari hidupmu,”
0 komentar:
Posting Komentar